Thariqat Naqsyabandiyah di Madura
Thariqat Naqsyabandiyah sudah
hadir di Madura sejak akhir abad
kesembilan belas. Mazhariyah (di
Indoneia ditulis “Muzhariyah”) adalah sebuah aliran Thariqat yang menyebar
dipulau Madura berkat upaya Kyai asal Madura, syeh Abdul Azdim dari bangkalan
(w. 1335/1916). Beliau telah lama bermukim di kota Mekkah dan telah menjadi
khalifah dari Muhammad Shalih serta mengajarkan Thariqat kepada banyak sekali
orang-orang Madura yang sedang menunaikan ibadah haji. Selain di kota Mekkah,
juga di kota Madinah dalam menyebarkan thariqatnya.
Thariqat Naqyabandiyah Muzhariyah
sekarang ini merupakan thariqat yang paling berpengaruh di Madura dan juga di
beberapa tempat yang banyak penduduknya berasal dari Madura, seperti Surabaya,
Jakarta dan Kalimantan Barat.
Di bawah ini gambar Silsilah Masyayikh yang sudah direkomendasikan oleh Kyai Ja'far Abd. Wahid yang Muttashil sampai kepada beliau.
Satu-satunya nasab penting
lainnya yang masih ada di Madura adalah yang berasal dari kyai Jazuli
dari desa Tattangoh, seorang guru yang sangat dihormati baik di luar lingkungan
penganut thariqat. Muridnya yang paliing terkemuka adalah kyai Ali wafa
dari Ambunten daerah pesisir utara Sumenep. Kyai Ali Wafa dibaiat oleh kyai
Jazuli tetapi tidak sempat diberikan ijazah khalifah karena kyai Jazuli
keburu wafat. Beliau kemudian menerima ijazah dari kyai Sirajuddin,
walaupun beliau tidak pernah berguru kepadanya.
Menurut suatu riwayat, tidak lama
sesudah wafatnya kyai Jazuli, kyai Sirajuddin bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW dan diperintahkan untuk memberikan ijazah kepada kyai Ali Wafa
walaupun beliau bukan muridnya. Seperti halnya kyai Jazuli, kyai Ali wafa juga sangat dihormati oleh sesama ulama
maupun masyarakat pada umumnya. Murid-muridnya ada di seluruh pulau Madura,
terutama di Sumenep dan di pulau Sepudi (sebelah timur Madura).
Pada tahun 1988, khalifah kyai
Ali wafa yang paling menonjol di pulau Madura adalah kyai Abdul Wahid
Khudzaifah di desa Gersempal (di daerah Omben – Sampang Madura). Beliau meneruskan penyebaran yang telah
dimulai oleh kyai Ali Wafa. Murid-murid kyai Ali Wafa di Sumenep dan di Sepudi
pada umumnya berbaiat kembali kepada Kyai Abdul Wahid. Beliau membuat perjalanan tahunan ke Sepudi dank
e Muncar (pelabuhan perikanan sebelah selatan Banyuwangi, tempat dimana tinggal
banyak nelayan Madura). Bukan hanya di daerah tersebut saja, di Singaraja (Bali
utara) dan juga Surabaya, beliau mengunjunginya hamper tiap bulan. (hasil dari
wawancara dengan putra Kyai Abdul Wahid Khudzaifah, kyai Ja’far Abd.
Wahid di desa gersempal-omben Sampang Madura, 22-2-1988).
Dari hasil wawancara dengan putra Kyai Ali Wafa, kyai Taifur Ali
Wafa; menegaskan bahwa murid-murid
ayahnya sekarang berkiblat ke Gersempal-Omben
Sampang, yaitu ke Kyai Abdul Wahid Khudzaifah dan belakangan ini
setelah beliau wafat (kyai Abdul wahid) digantikan oleh putranya yaitu Kyai
Ja’far Abdul Wahid. (wawancara, 17-71993).
Kyai Ali Wafa tidak hanya
memberikan ijazah kepada kyai Abdul wahid, tetapi juga kepada kedua saudaranya,
yaitu kyai Sya’duddin (adik laki-laki) dan Nyai Thobibah, saudara
perempuannya. Ayah mereka, kyai Khudzaifah, juga seorang Khalifah
(dengan ijazah dari kyai Ahmad Syabrawi) dan pernah menjadi guru atau
sahabat senior kyai Ali Wafa. Kyai Khudzaifah wafat sebelum beliau sempat
memberikan ijazah kepada putra-putranya; itu barangkali sebabnya kyai Ali Wafa
memberikan ijazahnya kepada ketiga-tiganya.
(Sumber berita : di ambil dari
buku “TAREKAT NAQSYABANDIYAH DI INDONESIA” jilid Pertama edisi Revisi pengarang
Martin van Bruinessen, pengantar Hamid Algar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar